Samsul Muarif
Pemerhati kepolisian. Penulis tinggal di Ragunan, Jakarta Selatan.
“A good policeman who extends and that develops two virtues, intellectually, he has to grasp the nature of human suffering. Morally, he has to resolve contradiction of achieving just ends coersive means.” (Kenneth Muir dalam bukunya ‘Police, Streetcorner Politicians’)
Meski sudah 13 tahun berjalan, reformasi di tubuh Kepolisian Republik Indonesia (Polri) belum memberikan hasil yang menggembirakan. Terbukti, untuk kesekian kalinya, Polri kembali disorot tajam. Pasalnya, dalam waktu relatif dekat aparat polisi diduga melakukan praktik kekerasan terhadap warga masyarakat, yaitu di Mesuji Sumatera Selatan, Lampung, dan di Pelabuhan Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat.
Akibatnya, aksi protes pun marak digelar, tak hanya di Bima dan Mataram, namun merembet ke berbagai kota di Jawa Timur seperti Surabaya dan Tuban. Bahkan, di Makassar, aksi serupa berlangsung ricuh. Aksi solidaritas itu terus mengalir hingga di Yogyakarta, Solo dan kota lain.
Aksi protes masyarakat jelas merupakan wujud tuntutan masyarakat terhadap institusi Polri agar mewujudkan fungsi Polri sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002: “Fungsi kepolisian sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat”.
Karena itu, masyarakat tentu juga berharap Polri dapat mengembangkan diri menjadi lebih profesional. Bukankah semangat pemisahan lembaga Polri dan TNI pada 1 April 1999 – sebagai langkah awal (starting point) reformasi Polri – agar polisi tidak berwatak militer, keras dan represif sebagai akibat militerisasi yang telah berlangsung. Inilah awal dari paradigma baru Polri yang kemudian disusul dengan reformasi struktural yang dijabarkan dalam UU Polri No 2 Tahun 2002, bahwa paradigma baru Polri adalah polisi sipil.
Sebagaimana sudah kerap dibicarakan, masyarakat tentu juga sangat paham dengan pengertian ‘polisi sipil’. Yaitu, polisi yang dalam menjalankan tugasnya mengedepankan pendekatan kemanusiaan. Karakter sipil secara luas dikaitkan dengan nilai-nilai peradaban (civilization) dan keadaban (civility). Mengedepankan sikap-sikap budaya yang sopan, santun, ramah, tidak kasar, dan persuasi menjadi ciri utamanya. Penghargaan kepada masyarakat sebagai seorang yang bermartabat merupakan ciri pokok kinerja polisi sipil yang mempunyai integritas tinggi. Dengan kata lain, polisi sipil adalah polisi yang beradab, bukan polisi yang biadab.
Polisi yang ideal – merujuk kesepakatan internasional – adalah polisi sipil yang demokratis, yang mengedepankan cara-cara sipil untuk menyelesaikan persoalan sosial, termasuk kejahatan, yang muncul di masyarakat. Intinya, polisi wajib menjauhi cara kekerasan dan militeristik dalam bertugas karena fungsi polisi berbeda dengan tentara. Polisi bertugas memberi rasa aman kepada masyarakat, sementara tentara bertugas bertempur mempertahankan eksistensi negara.
Secara tradisional, fungsi kepolisian ditujukan untuk menciptakan keamanan dalam negeri, ketertiban dalam masyarakat, pelayanan dan bantuan kepada masyarakat, penegakan hukum dan pemolisian masyarakat (community policing). Karena itu, kwalitas polisi sipil diukur dari kemampuannya dalam menjauhkan diri dari karakter militer dan mendekatkan diri kepada masyarakat.
Mengutip Satjipto Rahardjo, polisi sipil atau polisi yang berwatak sipil adalah sistem kepolisian yang melaksanakan pekerjaan dengan cara-cara yang tidak boleh menyebabkan manusia kehilangan harkat dan martabat kemanusiaannya. Karena itu, dimensi intelektual dan moral dalam pekerjaan polisi menjadi sangat penting. Polisi sipil tidak menggunakan cara yang pendek dan gampang seperti menggunakan paksaan dan kekerasan, tetapi bersedia mendengarkan dan memahami keadaan dan penderitaan manusia.
Dalam pandangan Satjipto Rahardjo, polisi sipil adalah sekelompok orang sipil yang dipersenjatai guna melindungi masyarakat di masa damai atau warga negara biasa yang berseragam. Polisi yang berseragam hanya menunjukkan sikap soliditas organisasi saja, bukan dimaksudkan untuk menunjukkan sikap militerisme yang cenderung represif, ketimbang dialektik. Polisi yang berwatak dan berjiwa sipil adalah polisi yang berperikemanusiaan, ketimbang polisi represif. Polisi yang berperikemanusiaan menghargai manusia dalam kegiatannya. Harkat dan martabat manusia menjadi pertimbangan penting dalam pelaksanaan tugas polisi, sehingga manusia tak semata-mata menjadi objek (Polisi Sipil, Jakarta: Gramedia, 2002).
Mengoptimalkan Peran Kompolnas
Meski di lapangan masih banyak polisi yang berperilaku menyimpang, tetapi Markas Besar (Mabes) Polri telah menunjukkan upayanya yang tak henti mengubah perilaku negatif tersebut, salah satunya dengan mendisiplinkan anggotanya yang menyimpang. Bahkan, Mabes Polri juga menerjunkan sejumlah perwira menengah ke berbagai daerah untuk mengakomodasi keluhan masyarakat terkait kinerja kepolisian.
Di sisi lain, tak sedikit konsep perbaikan yang dikedepankan para pakar, seperti perlunya reformasi di tubuh Polri yang meliputi tiga aspek fundamental: reformasi struktural, instrumental, dan kultural yang senantiasa harus terus bergulir di tubuh Polri sejalan dengan perkembangan masyarakat.
Tetapi, masyarakat luas pun tak henti mempertanyakan kinerja institusi yang menyatu dengan masyarakat ini. Akankah Polri benar-benar mampu mewujudkan perannya sebagai polisi sipil, jika selama ini di lapangan masih saja terjadi pelanggaran-pelanggaran dan kekerasan yang berulang? Bagaimana mekanisme kontrol terhadap aparat di lapangan dapat dilakukan dengan baik sehingga memberikan hasil maksimal? Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan krusial yang muncul.
Masyarakat pun tampak menaruh harapan besar terhadap Kompolnas, lembaga yang kedudukan dan tanggung jawabnya sebagai lembaga kepolisian nasional berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden, ini. Terbukti, angka keluhan masyarakat yang masuk ke Kompolnas tergolong tinggi, yaitu pada periode 1 Januari – 30 September 2010 mencapai angka 1199.
Di sisi lain, penelitian Kompolnas pada akhir 2010 lalu, menemukan sejumlah persoalan yang masih terjadi di tubuh Kepolisian. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di empat Polda yakni Kepri, Bali, Kalsel dan NTT, masih terdapat masalah seperti ketidaktegasan penegakan hukum terhadap pelanggaran oleh aparat, kesejahteraan anggota, hingga sarana dan prasarana yang bermutu rendah.
Dalam penelitian yang dilakukan Kompolnas juga ditemukan berbagai persoalan di tubuh Polri. Bukan hanya persoalan kesejahteraan tetapi juga performansi yang belum maksimal dalam hal pelayanan publik. Temuan penelitian menunjukkan bahwa reformasi struktural, instrumental dan kultural belum memberikan pengaruh positif.
Sementara itu, data penelitian yang dilakukan oleh Imparsial pada Juni 2011, juga menunjukkan bahwa sebagian warga DKI Jakarta tidak puas dengan hasil reformasi Polri.
Dalam survei yang menggunakan metode multistage random sampling (MRS), Imparsial menemukan bahwa 61,2% publik Jakarta mengatakan reformasi Polri tidak berhasil. Sementara, hanya 14,8% yang menyatakan berhasil. Sisanya, 24%, mengatakan tidak tahu.
Survei yang dilakukan terhadap 500 warga Jakarta berusia 17 tahun atau sudah menikah itu menunjukkan hasil survei berbanding lurus dengan tingkat kepuasan reformasi Polri. Untuk penanganan korupsi, 78,4% warga merasa tidak puas, sementara hanya 14,6% yang merasa puas. Sedangkan untuk penanganan lalu lintas, 76,6% menyatakan ketidakpuasan dan hanya 19% yang mengatakan puas. Untuk penegakan hukum dan HAM, sebanyak 58% warga mengatakan tidak puas atas penanganan Polisi di bidang tersebut. Sementara 19,4% merasa puas dan 22% menjawab tidak tahu.
Dalam hal penanganan terorisme, sebanyak 67% menyatakan puas atas kinerja Polri. Sementara 25,2% belum merasa puas. Meski penanganan terorisme memperoleh respons positif, Imparsial menyebut ini tidak bisa menjadi ukuran bahwa kinerja polisi membaik. Fungsi pengawasan yang dilakukan Kompolnas terhadap Korps Bhayangkara juga masih rendah. Hal itu menjadi salah satu penyebab kinerja Polri yang tidak optimal.
Penilaian gagalnya reformasi di tubuh Polri, indikasinya ditandai dengan masih tingginya aduan masyarakat atas penyalahgunaan wewenang, kekerasan hingga kasus salah tangkap yang dilakukan Polri. Kasus terorisme, sejak tahun 2005 tercatat setidaknya ada 70 kasus salah tangkap. Sementara, sejak 2005 hingga 2010 telah terjadi 135 kasus berbagai tindakan kriminal, di antaranya, penyerangan terhadap warga, pembunuhan, pemerasan dan kekerasan berlebih dalam penanganan unjuk rasa. Data Transparansi Internasional tahun 2008, menyebut Polri sebagai Institusi terkorup di Indonesia. Sedangkan Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat terdapat 145 tunggakan kasus korupsi yang harus diselesaikan pada tahun 2010.
Data tersebut menunjukkan bahwa dinamika reformasi yang berjalan selama ini belum memberikan kontribusi maksimal bagi pembentukan polisi sipil yang akuntabel. Reformasi polisi masih bersifat artifisial dan belum dilakukan secara lebih substansial dan lebih komprehensif.
Karena itu, Kompolnas dituntut untuk lebih serius berupaya mendorong mewujudkan Polri yang profesional, mandiri, sekaligus humanis. Terlebih, Kompolnas telah diberi kewenangan lebih besar sejak 14 Maret 2011 yang diatur dalam Perpres Nomor 17 Tahun 2011, yaitu untuk meminta keterangan dari pejabat Polri dan meminta Polri melakukan pemeriksaan ulang atau pemeriksaan tambahan terhadap anggota Polri yang diduga melakukan pelanggaran kode etik dan profesi.
Masyarakat tentu sangat berharap Kompolnas benar-benar mampu mengoptimalkan perannya. Jika tidak, boleh jadi masyarakat akan lebih skeptis konsep Kenneth Muir di atas dan upaya mewujudkan polisi sipil dapat direalisasikan.